MUSIK INDONESIA MAJU PADA KUANTITAS TAPI MUNDUR PADA KUALITAS
Dalam kurun dekade ini, musik Indonesia boleh dikatakan meriah. Bermunculan pula artis-artis baru, baik dalam skala independent (indie) label maupun artis rekaman major label. Tengok dua dekade lalu artis major label dari bendera Musica Studio’s banyak merajai pasar musik Indonesia, demikian juga dengan major label lain Aquarius, Sony Music, EMI, Universal Music dan Warner Music Indonesia mengalami dan mulai menyemarakkan artis Indonesia dengan berbagai warna musik pop, rock dan alternative Indonesia yang catchy.
Kini seperti wabah muncul kekuatan kekuatan baru label-label yang siap untuk menggempur dominasi mereka seperti Trinity Optima, Nagaswara, E-Motion Entertainment. Meskipun major label sebelumnya masih tetap bertahan untuk berbagi kue dengan label-label baru yang siap dengan penyebarannya melalui gelombang barunya.
Kurun terakhir muncul gelombang musik-musik Indie yang tidak mau disetir selera major label mencoba terobosan baru dengan mengemas musik yang dibilang eksperimentalis dan sesuai dengan konsep yang diemban oleh masing-masing kelompok musik dalam berkreasi. Lihat saja Fast-Forward Record mencoba menyuguhkan warna baru yang mulai berbeda pada era tahun 90an seperti kelompok musik Mocca yang sarat dengan irama Swedish Pop. Belum lagi MTV Indonesia yang masih waktu itu mampu menyemarakkan blantika musik Indonesia secara jauh lebih kreatif dan innovative.
Saat ini indie label dengan artis-artis yang menunjukkan eksistensi musik mereka seperti Anda, Tika and The Dissidents, Indra Hardjodikoro, Endah N Resha dan Melancholic Bitch benar-benar menyuguhkan kualitas musik yang diacungi jempol meskipun dari penjualan pasar tidak seramai lagu-lagu pop kacang goreng, namun kreatifitas mereka tidak perlu dianggap main-main.
Lalu apa jadinya setelah terjadi gelombang baru, mandulnya MTV Indonesia akibat ambisi Global TV yang mencoba merebut simpati merebut kue pasar pertelevisian di Indonesia melalui Variety show macam pendahulunya membuat musik Indonesia yang sebelumnya MTV Indonesia mencoba mencontoh musik dengan era musikalitas sekelas MTV dengan video-video clip yang kreatif mendadak berpaling menjadi lebih hura-hura semodel acara Dahsyat, De Rings dan acara-acara semodel lainnya di televisi swasta. Acara kemasan hura-hura ini menyebabkan perubahan bentuk dengan pengerahan masa bayaran dan iklan terselubung dalam bentuk yang sok-live show itu. Yang penting perusahaan rekaman mampu membayar biaya promosi si artis untuk diorbitkan.
Meskipun MTV juga merupakan sarana promosi namun paling tidak anak-anak kreatif di dalamnya jauh lebih faham mengenai permusikan. Berbeda dengan televisi yang hanya sekedar mengeruk keuntungan semata dan dengan ditambah persaingan ringback tone dari operator-operator alat komunikasi telephone genggam yang mencoba memasuki pasaran mereka dengan cara menjual kode dan mengaktifkan ringtone, maka terjadilah perubahan bentuk yang tidak bisa dibendung lagi.
Major label yang sebelumnya getol menyuarakan lagu-lagu kreatif mendadak tersuruk ikut-ikutan tergelincir dalam arus perubahan bentuk pop distorsi alternatif yang sempat merajai era tahun 90an hingga pertengahan tahun 2000an agaknya tak kuasa menahan bendungan arus laju label-label baru yang kurang kreatif tapi lebih menonjolkan selera pasar dengan harapan ringtone yang dijual melalui lisensi operator komunikasi menjadi lebih dominan ditambah dengan serbuan band-band yang mencoba sok-live di acara gegap gempita televisi semodel Dahsyat, De Rings dan lain-lainnya.
Coba tengok kebelakang, kalau tahun 1970an segmentasi pasar musik Indonesia dibagi atas musik gedongan dan musik kampungan, jelas bahwasanya musik gedongan itu adalah musik milik kaum menengah ke atas, sedangkan musik kampungan atau pinggiran ini adalah milik musik kaum menengah kebawah.
Tahun 80an juga demikian peta musik Indonesia dibagi menjadi Pop Kreatif , Pop Cengeng dan Dangdut. Pop Kreatif selalu diwarnai musik-musik Indonesia waktu itu sebagaimana era 80an penuh dengan synthesizer seperti new wave dan sentuhan jazzy seperti PT Aquarius Musikindo mengkompilasikan kaset yang beredar pada era tersebut dengan judul: “Mereka Menyebutnya Pop kreatif” yang berisi kompilasi Ruth Sahanaya, Oddie Agam, Vina panduwinata, Sheila Madjid, Fariz RM, dll. Lalu siapa kala itu yang mewabah termasuk dalam Pop Kreatif ? didalamnya tentu saja ada 2 D (Deddy Dhukun dan Dian Permana Putra), Sheila Madjid, Ruth Sahanaya, KLa Project, Atiek CB, Hari Moekti, Januari Christy, Fariz RM, Vina Panduwinata, Utha Likumahuwa, Krakatau, Karimata dll.
Sedangkan Pop Cengeng tentu saja sekitar Rinto harahap, Pance, Obby Mesakh C, JK Records dengan artis-artis orbitannya seperti Betharia Sonata, Iis Soegianto, Ratih Purwasih, Dian Piesesha, Nia Daniaty, Ria Angelina dan lain-lain. Dalam dangdutpun jelas kelihatan penyanyi-penyanyi dan musisi dangdut selain Raja dan Ratu Dangsut, Rhoma Irama dan Elvie Soekaesih seperti Evie Tamala, Iis Dahlia, Mirnawati hingga Rita Soegiarto dan sederetan artis yang masuk kategori Dangdut Remix lainnya meskipun ada pembaharuan dengan menggabungkan Disco dengan dangdut namun musik dangdut sempat menjadi kotak tersendiri waktu itu.
Lalu bagaimana peta musik Indonesia era sekarang. Setelah terjadi ledakan band Indonesia lengkap dengan segala kreatifitasnya seperti Dewa 19, Slank, Padi, Sheila On 7, Samsons, Cokelat, Naif, Nidji, dan Peterpan maka terjadilah leburan dahsyat yang kaum pinggiran dan kaum masyarakat kebanyakanpun mulai menyukai lagu-lagu dengan forma band-band Indonesia.
Namun band band mapan tersebut kemudian mulai kegeser populeritasnya disaat terjadi peleburan dan berkurangnya pamor dangdut di blantika musik Indonesia, maka mulailah band-band kurang kualitas …Radja, Ungu, ST12, Wali, Kangen, D’Bagindas, Armada, The Potters dan beberapa band yang minim kualitas tapi mendapat sambutan luar biasa dari semua kalangan karena terjadinya peleburan koneksitas penggemar yang tidak jelas dari strata sosial yang berbeda baik strata sosial menengah ke bawah dan menengah ke atas..
Jujur beberapa rekan saya menolak kalau kelompok-kelompok musik seperti ini disebut kelas “kacangan” atau rendahan. Padahal kalau mau jujur mereka berangkat dari hal yang sama yang mendasari pergerakan musik mereka. Mereka mencoba mencari sensasii dengan lirik yang sederhana dan terkadang kurang kurang pas/mengena, melodi yang parah, suara yang biasa-biasa saja namun gegap gempita penyambutnya luar biasa.
Trinity Optima memang sedang panen dengan UNGU dan ST12.Apalagi selalu kerjasama dengan setiap sinetron baru untuk mengedepankan lagu unggulannya. Itulah strategi promosi yang mau nggak mau pendengar biasa populer dengan lagu itu misalnya ST12 dengan lagu “ Biarkan Aku Jatuh Cinta” dari Soundtrack Sinetron Safa dan Marwah di RCTI. Agaknya ada kecenderungan saling dukung antara pihak perusahaan rekaman berkolaborasi dengan rumah produksi pembuat sinetron dan stasiun televisi yang lagunya dijadikan tema untuk sinetron-sinetron baru di RCTI.
Kedua kelompok musik unggulan Trinity Optima seperti Ungu dan ST12 ini yang paling laku. Trinity Optima juga bernai membayar mahal untuk membuat konser di televisi swasta untuk menaikkan kibaran benderanya dengan kedok Mega Concert Tidak saja sekaliber mereka Kangen Band, Wali dan beberapa kelompok musik yang tidak jelas mulai menyerbu pasar musik Indonesia. Populeritas Kangen Band dan Raja pun semakin digemari dan mendudukkan posisi mereka bahwa semakin dicaci maki semakin membuat nama mereka semakin melambung.
Runtuhnya dominasi lagu-lagu barat dan dikebirinya program MTV di Indonesia yang mempopulerkan lagu-lagu barat menyebabkan laju lagu-lagu Indonesia menjadi tak terbendung. Namun sayangnya justru munculnya berbagai genre musik di Indonesia yang semakin kaya, agaknya mayoritas pasar tidak peduli dengan lagu yang mereka suka. Itulah kenyataanya. Lagu Indonesia model ini agaknya yang laku dipasaran, diacara sok-live show, padahal playback ….begitu minus one nya rusak maka tata panggungnya bikin malu-maluin….di televisi yang meriahkan oleh para Alay (sebutan para ABG Lebay) dengan antusias. Penggemar UNGU seperti mbak mbak dan ibu-ibu rumah tangga seolah olah kesihir dengan kegantengah Pasha Ungu yang menurut mereka Pasha itu ganteng.
Sebetulnya musik Charly itu ada bagusnya seperti Saat Terakhir, namun setelah mendalami lebih dalam lagi….alamakkkk …itu sok Malay banget! Celakanya Charly sudah menabur pesona dengan beberapa tindakan kemanusiaan yang sempat membuat para fansnya ST Setia semakin histeris dan dicintai. Dengan disanjungnya Charly sebagai New class hero di kalangan penggemarnya belakangan ini muncul plagiat plagiat atau pengekor-pengekor Charly yang mencoba mendayu-dayu sok ke melayu melayuan seperti Hijau Daun dan D’Bagindas.
Coba tengok kebelakang ketika terjadi serbuan Rock-Rock Kampak ala Malaysia yang ditunggangi oleh Amy Search dengan Isabela yang fenomenal itu, lagu Isabella hampir diketahui semua lapisan masyarakat bahkan saya pernah dengan dimunculkan juga polemik Isabella dalam ceramah Khutbah Shalat Jumat. Saking fenomenalnya munculah serbuan kamikase kumpulan rock Melayu lainnya seperti IKLIM, MAY, UKS yang so-boring-monotonous-beat dan lain-lain sempat memataharangkan lagu-lagu dari supergrup di Indonesia.
Namun musisi-musisi Indonesia dengan sigap menyatakan bahwa musik Indonesia jauh lebih baik dan berkualitas dibanding dengan musisi-musisi Malaysia.
Sentimen dengan Malaysiapun muncul setelah diadaptasinya lagu Rasa Sayange dalam Iklan Visit Malaysia dan juga diclaimnya beberapa budaya Indonesia oleh Malaysia. Namun belakangan ini seolah terjadi trend fashback seolah-olah lagu-lagu Indonesia kembali bergelayut dan mendayu-dayu. Sementara lagu-lagu Indonesia yang dikomandoi Charly seolah siap untuk memajukan lagu dengan cengkok dan gaya yang ke Melayu-Melayuannya siap untuk menggebrak blantika musik Indonesia.
Sebetulnya masalahnya syah-syah saja orang berkreatifitas. Kita serahkan bagaimana saja publik menilai. Saat ini memang musik-musik Indonesia dimonopoli seperti musik itu yang lagi diatas angin. Tema-tema yang menarik publik dan yang menggelitik itulah yang sedang digandrungi. Peleburan masa penggemar musikpun masih belum bisa terpisahkan, namun paling tidak saat ini terdapat kubu yang disebut sebagai Band yang dibenci dan dicaci maki. Minimal Radio-radio di Ibukota yang dianggap elit merasa enggan untuk mempublikasikan lagu dari kalangan kedua ini. Ini berarti bahwa pola musik Indonesia masih terdapat pengkotak-kotkan terhadap musik.
Dibalik itu masih banyak musik Indonesia yang bagus dan berkonsep seperti The Changchuters, Vierra, Alexa, Run, Andra & The Backbone, Geisha, Kotak, D’Masiv, Kerispatih, D’Cinnamon, Ten2Five, dan Letto. Demikian juga dengan penyanyi-penyanyi idola yang sukses seperti Afgan, Vidi Aldiano, Pasto dll. Minimal paling tidak karya-karya mereka masih enak didengar dan mempunyai pasar yang besar Cuma disinilah terjadi peleburan yang tidak jelas dipasar karena masyarakat umum mendua dalam menggemari genre musik yang ada. Yang suka Alexa dapat juga suka Ungu atau ST12..
Disadur dari:
http://marciamusicportal.blogspot.com/
Kini seperti wabah muncul kekuatan kekuatan baru label-label yang siap untuk menggempur dominasi mereka seperti Trinity Optima, Nagaswara, E-Motion Entertainment. Meskipun major label sebelumnya masih tetap bertahan untuk berbagi kue dengan label-label baru yang siap dengan penyebarannya melalui gelombang barunya.
Kurun terakhir muncul gelombang musik-musik Indie yang tidak mau disetir selera major label mencoba terobosan baru dengan mengemas musik yang dibilang eksperimentalis dan sesuai dengan konsep yang diemban oleh masing-masing kelompok musik dalam berkreasi. Lihat saja Fast-Forward Record mencoba menyuguhkan warna baru yang mulai berbeda pada era tahun 90an seperti kelompok musik Mocca yang sarat dengan irama Swedish Pop. Belum lagi MTV Indonesia yang masih waktu itu mampu menyemarakkan blantika musik Indonesia secara jauh lebih kreatif dan innovative.
Saat ini indie label dengan artis-artis yang menunjukkan eksistensi musik mereka seperti Anda, Tika and The Dissidents, Indra Hardjodikoro, Endah N Resha dan Melancholic Bitch benar-benar menyuguhkan kualitas musik yang diacungi jempol meskipun dari penjualan pasar tidak seramai lagu-lagu pop kacang goreng, namun kreatifitas mereka tidak perlu dianggap main-main.
Lalu apa jadinya setelah terjadi gelombang baru, mandulnya MTV Indonesia akibat ambisi Global TV yang mencoba merebut simpati merebut kue pasar pertelevisian di Indonesia melalui Variety show macam pendahulunya membuat musik Indonesia yang sebelumnya MTV Indonesia mencoba mencontoh musik dengan era musikalitas sekelas MTV dengan video-video clip yang kreatif mendadak berpaling menjadi lebih hura-hura semodel acara Dahsyat, De Rings dan acara-acara semodel lainnya di televisi swasta. Acara kemasan hura-hura ini menyebabkan perubahan bentuk dengan pengerahan masa bayaran dan iklan terselubung dalam bentuk yang sok-live show itu. Yang penting perusahaan rekaman mampu membayar biaya promosi si artis untuk diorbitkan.
Meskipun MTV juga merupakan sarana promosi namun paling tidak anak-anak kreatif di dalamnya jauh lebih faham mengenai permusikan. Berbeda dengan televisi yang hanya sekedar mengeruk keuntungan semata dan dengan ditambah persaingan ringback tone dari operator-operator alat komunikasi telephone genggam yang mencoba memasuki pasaran mereka dengan cara menjual kode dan mengaktifkan ringtone, maka terjadilah perubahan bentuk yang tidak bisa dibendung lagi.
Major label yang sebelumnya getol menyuarakan lagu-lagu kreatif mendadak tersuruk ikut-ikutan tergelincir dalam arus perubahan bentuk pop distorsi alternatif yang sempat merajai era tahun 90an hingga pertengahan tahun 2000an agaknya tak kuasa menahan bendungan arus laju label-label baru yang kurang kreatif tapi lebih menonjolkan selera pasar dengan harapan ringtone yang dijual melalui lisensi operator komunikasi menjadi lebih dominan ditambah dengan serbuan band-band yang mencoba sok-live di acara gegap gempita televisi semodel Dahsyat, De Rings dan lain-lainnya.
Coba tengok kebelakang, kalau tahun 1970an segmentasi pasar musik Indonesia dibagi atas musik gedongan dan musik kampungan, jelas bahwasanya musik gedongan itu adalah musik milik kaum menengah ke atas, sedangkan musik kampungan atau pinggiran ini adalah milik musik kaum menengah kebawah.
Tahun 80an juga demikian peta musik Indonesia dibagi menjadi Pop Kreatif , Pop Cengeng dan Dangdut. Pop Kreatif selalu diwarnai musik-musik Indonesia waktu itu sebagaimana era 80an penuh dengan synthesizer seperti new wave dan sentuhan jazzy seperti PT Aquarius Musikindo mengkompilasikan kaset yang beredar pada era tersebut dengan judul: “Mereka Menyebutnya Pop kreatif” yang berisi kompilasi Ruth Sahanaya, Oddie Agam, Vina panduwinata, Sheila Madjid, Fariz RM, dll. Lalu siapa kala itu yang mewabah termasuk dalam Pop Kreatif ? didalamnya tentu saja ada 2 D (Deddy Dhukun dan Dian Permana Putra), Sheila Madjid, Ruth Sahanaya, KLa Project, Atiek CB, Hari Moekti, Januari Christy, Fariz RM, Vina Panduwinata, Utha Likumahuwa, Krakatau, Karimata dll.
Sedangkan Pop Cengeng tentu saja sekitar Rinto harahap, Pance, Obby Mesakh C, JK Records dengan artis-artis orbitannya seperti Betharia Sonata, Iis Soegianto, Ratih Purwasih, Dian Piesesha, Nia Daniaty, Ria Angelina dan lain-lain. Dalam dangdutpun jelas kelihatan penyanyi-penyanyi dan musisi dangdut selain Raja dan Ratu Dangsut, Rhoma Irama dan Elvie Soekaesih seperti Evie Tamala, Iis Dahlia, Mirnawati hingga Rita Soegiarto dan sederetan artis yang masuk kategori Dangdut Remix lainnya meskipun ada pembaharuan dengan menggabungkan Disco dengan dangdut namun musik dangdut sempat menjadi kotak tersendiri waktu itu.
Lalu bagaimana peta musik Indonesia era sekarang. Setelah terjadi ledakan band Indonesia lengkap dengan segala kreatifitasnya seperti Dewa 19, Slank, Padi, Sheila On 7, Samsons, Cokelat, Naif, Nidji, dan Peterpan maka terjadilah leburan dahsyat yang kaum pinggiran dan kaum masyarakat kebanyakanpun mulai menyukai lagu-lagu dengan forma band-band Indonesia.
Namun band band mapan tersebut kemudian mulai kegeser populeritasnya disaat terjadi peleburan dan berkurangnya pamor dangdut di blantika musik Indonesia, maka mulailah band-band kurang kualitas …Radja, Ungu, ST12, Wali, Kangen, D’Bagindas, Armada, The Potters dan beberapa band yang minim kualitas tapi mendapat sambutan luar biasa dari semua kalangan karena terjadinya peleburan koneksitas penggemar yang tidak jelas dari strata sosial yang berbeda baik strata sosial menengah ke bawah dan menengah ke atas..
Jujur beberapa rekan saya menolak kalau kelompok-kelompok musik seperti ini disebut kelas “kacangan” atau rendahan. Padahal kalau mau jujur mereka berangkat dari hal yang sama yang mendasari pergerakan musik mereka. Mereka mencoba mencari sensasii dengan lirik yang sederhana dan terkadang kurang kurang pas/mengena, melodi yang parah, suara yang biasa-biasa saja namun gegap gempita penyambutnya luar biasa.
Trinity Optima memang sedang panen dengan UNGU dan ST12.Apalagi selalu kerjasama dengan setiap sinetron baru untuk mengedepankan lagu unggulannya. Itulah strategi promosi yang mau nggak mau pendengar biasa populer dengan lagu itu misalnya ST12 dengan lagu “ Biarkan Aku Jatuh Cinta” dari Soundtrack Sinetron Safa dan Marwah di RCTI. Agaknya ada kecenderungan saling dukung antara pihak perusahaan rekaman berkolaborasi dengan rumah produksi pembuat sinetron dan stasiun televisi yang lagunya dijadikan tema untuk sinetron-sinetron baru di RCTI.
Kedua kelompok musik unggulan Trinity Optima seperti Ungu dan ST12 ini yang paling laku. Trinity Optima juga bernai membayar mahal untuk membuat konser di televisi swasta untuk menaikkan kibaran benderanya dengan kedok Mega Concert Tidak saja sekaliber mereka Kangen Band, Wali dan beberapa kelompok musik yang tidak jelas mulai menyerbu pasar musik Indonesia. Populeritas Kangen Band dan Raja pun semakin digemari dan mendudukkan posisi mereka bahwa semakin dicaci maki semakin membuat nama mereka semakin melambung.
Runtuhnya dominasi lagu-lagu barat dan dikebirinya program MTV di Indonesia yang mempopulerkan lagu-lagu barat menyebabkan laju lagu-lagu Indonesia menjadi tak terbendung. Namun sayangnya justru munculnya berbagai genre musik di Indonesia yang semakin kaya, agaknya mayoritas pasar tidak peduli dengan lagu yang mereka suka. Itulah kenyataanya. Lagu Indonesia model ini agaknya yang laku dipasaran, diacara sok-live show, padahal playback ….begitu minus one nya rusak maka tata panggungnya bikin malu-maluin….di televisi yang meriahkan oleh para Alay (sebutan para ABG Lebay) dengan antusias. Penggemar UNGU seperti mbak mbak dan ibu-ibu rumah tangga seolah olah kesihir dengan kegantengah Pasha Ungu yang menurut mereka Pasha itu ganteng.
Sebetulnya musik Charly itu ada bagusnya seperti Saat Terakhir, namun setelah mendalami lebih dalam lagi….alamakkkk …itu sok Malay banget! Celakanya Charly sudah menabur pesona dengan beberapa tindakan kemanusiaan yang sempat membuat para fansnya ST Setia semakin histeris dan dicintai. Dengan disanjungnya Charly sebagai New class hero di kalangan penggemarnya belakangan ini muncul plagiat plagiat atau pengekor-pengekor Charly yang mencoba mendayu-dayu sok ke melayu melayuan seperti Hijau Daun dan D’Bagindas.
Coba tengok kebelakang ketika terjadi serbuan Rock-Rock Kampak ala Malaysia yang ditunggangi oleh Amy Search dengan Isabela yang fenomenal itu, lagu Isabella hampir diketahui semua lapisan masyarakat bahkan saya pernah dengan dimunculkan juga polemik Isabella dalam ceramah Khutbah Shalat Jumat. Saking fenomenalnya munculah serbuan kamikase kumpulan rock Melayu lainnya seperti IKLIM, MAY, UKS yang so-boring-monotonous-beat dan lain-lain sempat memataharangkan lagu-lagu dari supergrup di Indonesia.
Namun musisi-musisi Indonesia dengan sigap menyatakan bahwa musik Indonesia jauh lebih baik dan berkualitas dibanding dengan musisi-musisi Malaysia.
Sentimen dengan Malaysiapun muncul setelah diadaptasinya lagu Rasa Sayange dalam Iklan Visit Malaysia dan juga diclaimnya beberapa budaya Indonesia oleh Malaysia. Namun belakangan ini seolah terjadi trend fashback seolah-olah lagu-lagu Indonesia kembali bergelayut dan mendayu-dayu. Sementara lagu-lagu Indonesia yang dikomandoi Charly seolah siap untuk memajukan lagu dengan cengkok dan gaya yang ke Melayu-Melayuannya siap untuk menggebrak blantika musik Indonesia.
Sebetulnya masalahnya syah-syah saja orang berkreatifitas. Kita serahkan bagaimana saja publik menilai. Saat ini memang musik-musik Indonesia dimonopoli seperti musik itu yang lagi diatas angin. Tema-tema yang menarik publik dan yang menggelitik itulah yang sedang digandrungi. Peleburan masa penggemar musikpun masih belum bisa terpisahkan, namun paling tidak saat ini terdapat kubu yang disebut sebagai Band yang dibenci dan dicaci maki. Minimal Radio-radio di Ibukota yang dianggap elit merasa enggan untuk mempublikasikan lagu dari kalangan kedua ini. Ini berarti bahwa pola musik Indonesia masih terdapat pengkotak-kotkan terhadap musik.
Dibalik itu masih banyak musik Indonesia yang bagus dan berkonsep seperti The Changchuters, Vierra, Alexa, Run, Andra & The Backbone, Geisha, Kotak, D’Masiv, Kerispatih, D’Cinnamon, Ten2Five, dan Letto. Demikian juga dengan penyanyi-penyanyi idola yang sukses seperti Afgan, Vidi Aldiano, Pasto dll. Minimal paling tidak karya-karya mereka masih enak didengar dan mempunyai pasar yang besar Cuma disinilah terjadi peleburan yang tidak jelas dipasar karena masyarakat umum mendua dalam menggemari genre musik yang ada. Yang suka Alexa dapat juga suka Ungu atau ST12..
Disadur dari:
http://marciamusicportal.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar