Blognya Para Pecinta Seni dan Sebuah sarana atau wadah bagi para pelaku dan pecinta musik untuk membuat sebuah karya dalam bentuk Album
Sabtu, 30 Maret 2013
Dampak negatif penanaman kelapa sawit skala besar
Konversi hutan alam masih terus berlangsung hingga kini bahkan
semakin menggila karena nafsu pemerintah yang ingin menjadikan Indonesia
sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia. Demi mencapai
maksudnya tadi, pemerintah banyak membuat program ekspnasi wilayah kebun
meski harus mengkonversi hutan.
Sebut saja Program sawit di wilayah perbatasan Indonesia – Malaysia di
pulau Kalimantan seluas 1,8 jt ha dan Program Biofuel 6 juta ( tribun
Kaltim, 6 juta ha untuk kembangkan biofuel) ha. Program pemerintah itu
tentu saja sangat diminati investor, karena lahan peruntukan kebun yang
ditunjuk pemerintah adalah wilayah hutan. sebelum mulai berinvestasi
para investor sudah bisa mendapatkan keuntungan besar berupa kayu dari
hutan dengan hanya mengurus surat Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK) kepda
pihak pemerintah, dalam hal ini departemen kehutanan.
Akibat deforetasi tersebut bisa dipastikan Indonesia mendapat ancaman hilangnya keanekaragaman hayati dari ekosistem hutan hujan tropis. Juga menyebabkan hilangnya budaya masyarakat di sekitar hutan. Disamping itu praktek konversi hutan alam untuk pengembangan areal perkebunan kelapa sawit telah menyebabkan jutaan hektar areal hutan konversi berubah menjadi lahan terlantar berupa semak belukar dan/atau lahan kritis baru, sedangkan realisasi pembangunan perkebunan kelapa sawit tidak sesuai dengan yang direncanakan.
Dampak negatif yang terungkap dari aktivitas perkebunan kelapa sawit diantaranyai:
Persoalan tata ruang, dimana monokultur, homogenitas dan overloads konversi. Hilangnya keaneka ragaman hayati ini akan memicu kerentanan kondisi alam berupa menurunnya kualitas lahan disertai erosi, hama dan penyakit.
Pembukaan lahan sering kali dilakukan dengan cara tebang habis dan land clearing dengan cara pembakaran demi efesiensi biaya dan waktu.
Kerakusan unsur hara dan air tanaman monokultur seperti sawit, dimana dalam satu hari satu batang pohon sawit bisa menyerap 12 liter (hasil peneliti lingkungan dari Universitas Riau) T. Ariful Amri MSc Pekanbaru/ Riau Online). Di samping itu pertumbuhan kelapa sawit mesti dirangsang oleh berbagai macam zat fertilizer sejenis pestisida dan bahan kimia lainnya.
Munculnya hama migran baru yang sangat ganas karena jenis hama baru ini akan mencari habitat baru akibat kompetisi yang keras dengan fauna lainnya. Ini disebabkan karena keterbatasan lahan dan jenis tanaman akibat monokulturasi.
Akibat deforetasi tersebut bisa dipastikan Indonesia mendapat ancaman hilangnya keanekaragaman hayati dari ekosistem hutan hujan tropis. Juga menyebabkan hilangnya budaya masyarakat di sekitar hutan. Disamping itu praktek konversi hutan alam untuk pengembangan areal perkebunan kelapa sawit telah menyebabkan jutaan hektar areal hutan konversi berubah menjadi lahan terlantar berupa semak belukar dan/atau lahan kritis baru, sedangkan realisasi pembangunan perkebunan kelapa sawit tidak sesuai dengan yang direncanakan.
Dampak negatif yang terungkap dari aktivitas perkebunan kelapa sawit diantaranyai:
Persoalan tata ruang, dimana monokultur, homogenitas dan overloads konversi. Hilangnya keaneka ragaman hayati ini akan memicu kerentanan kondisi alam berupa menurunnya kualitas lahan disertai erosi, hama dan penyakit.
Pembukaan lahan sering kali dilakukan dengan cara tebang habis dan land clearing dengan cara pembakaran demi efesiensi biaya dan waktu.
Kerakusan unsur hara dan air tanaman monokultur seperti sawit, dimana dalam satu hari satu batang pohon sawit bisa menyerap 12 liter (hasil peneliti lingkungan dari Universitas Riau) T. Ariful Amri MSc Pekanbaru/ Riau Online). Di samping itu pertumbuhan kelapa sawit mesti dirangsang oleh berbagai macam zat fertilizer sejenis pestisida dan bahan kimia lainnya.
Munculnya hama migran baru yang sangat ganas karena jenis hama baru ini akan mencari habitat baru akibat kompetisi yang keras dengan fauna lainnya. Ini disebabkan karena keterbatasan lahan dan jenis tanaman akibat monokulturasi.
RUU P2H berpotensi merugikan Rakyat dan Melindungi Perusahaan Perusak Hutan
Release menanggapi rencana pengesyahan RUU P2H
RUU Pemberantasan Pengerusakan Hutan (P2H)
berpotensi merugikan Rakyat dan Melindungi Perusahaan Perusak Hutan
Jakarta, 26 Maret 2013. Rancangan Undang Undang Pemberantasan
Pengerusakan Hutan (RUU P2H), diusulkan atas pertimbangan tingginya laju
deforestasi dan degradasi oleh kejahatan sistematis terorganisir dalam
sector utama ; pertambangan, perkebunan dan pembalakan liar skala besar,
hanya saja dalam substansi pasal per pasalnya RUU ini justru diarahkan
untuk menyelamatkan perusahaan tambang dan perkebunan dan justru akan
menjadi alat baru mengkriminalisasi serta memisahkan rakyat dari sumber
kehidupannya.
Fakta bahwa kerusakan hutan Indonesia tidak hanya permasalahan
aktivitas tanpa ijin atau ada atau tidak ada basis legas dalam
operasional perusahaan di atas hutan, namun juga disebabkan oleh
aktivitas illegal perusahan-perusahaan berijin, misal land clearing PBS dengan cuma mengantongi Ijin Lokasi, land clearing perusahaan
tambang yang baru mengantongi ijin eksplorasi. Pemerintah sendiri
sebenarnya mengakui bahwa banyak perusahaan yang beroperasi secara
illegal di kawasan hutan, yang kemudian diakomodir oleh pemerintah
melalui PP 60 dan 61 tahun 2012. Sehingga pengesyahan RUU P2H ini
semakin kental upaya untuk menghilangkan upaya penegakan hukum atas
pelanggaran-pelanggaran oleh perusahaan besar.
Sepuluh hal yang harus dilakukan agar CPO indonesia bisa dikategorikan sebagai komoditas yang ramah lingkungan
Sepuluh hal yang harus dilakukan
agar CPO indonesia bisa dikategorikan sebagai komoditas yang ramah lingkungan
Pernyataan
Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono pada September
2012 lalu yang mengatakan “Kelapa sawit adalah ramah lingkungan” di
acara Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) untuk kawasan asia pasifik perlu
di lihat lebih mendalam. Karena menurut sawit watch dan berbagai aktivis
lingkungan perkebunan kelapa sawit tidak bisa dijadikan komoditas yang
ramah lingkungan.
Keinginan kementrian perdagangan untuk menguslkan kembali crude palm oil (CPO) masuk dalam environmental goods list
pada KTT APEC yang digelar Oktober 2013 di Bali dirasa perlu
dipertimbangkan kembali, karena pada faktanya masih banyak tingkah laku
pengusaha perkebunan sawit yang tidak bisa dikategorikan sebagai ramah
lingkungan. Seperti halnya pembangunan perkebunan sawit di lahan gambut.
Hingga membuka perkebunan sawit di lahan pangan masyarakat. Masalah
lingkungan masi kerap terjadi dalam industri perkebunan kelapa sawit.
Di
kalimantan tengah saja misalnya masih banyak ditemukan titik api yang
berada di dalam konsesi perkebunan kelapa sawit. Ini membuktikan,
walaupun sudah ada aturan Zero Burning bagi perusahaan, namun masih ada
saja pengusaha perkebunan sawit yang “nakal”.
Dampak Ekologi dan Lingkungan Akibat Perkebunan Sawit Skala Besar
dari http://www.sawitwatch.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=40&Itemid=1
Ditulis oleh Saiful Achmad |
|
Pertumbuhan
sub-sektor kelapa sawit telah menghasilkan angka-angka pertumbuhan
ekonomi yang sering digunakan pemerintah bagi kepentingannya untuk
mendatangkan investor ke Indonesia. Namun pengembangan areal perkebunan
kelapa sawit ternyata menyebabkan meningkatnya ancaman terhadap
keberadaan hutan Indonesia karena pengembangan areal perkebunan kelapa
sawit utamanya dibangun pada areal hutan konversi.
Konversi hutan alam masih terus berlangsung hingga
kini bahkan semakin menggila karena nafsu pemerintah yang ingin
menjadikan Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia.
Demi mencapai maksudnya tadi, pemerintah banyak membuat program ekspnasi
wilayah kebun meski harus mengkonversi hutan.
Sebut
saja Program sawit di wilayah perbatasan Indonesia – Malaysia di pulau
Kalimantan seluas 1,8 jt ha dan Program Biofuel 6 juta ( tribun Kaltim, 6
juta ha untuk kembangkan biofuel) ha. Program pemerintah itu tentu saja
sangat diminati investor, karena lahan peruntukan kebun yang ditunjuk
pemerintah adalah wilayah hutan. sebelum mulai berinvestasi para
investor sudah bisa mendapatkan keuntungan besar berupa kayu dari hutan
dengan hanya mengurus surat Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK) kepda pihak
pemerintah, dalam hal ini departemen kehutanan.
Akibat
deforetasi tersebut bisa dipastikan Indonesia mendapat ancaman hilangnya
keanekaragaman hayati dari ekosistem hutan hujan tropis. Juga
menyebabkan hilangnya budaya masyarakat di sekitar hutan. Disamping itu
praktek konversi hutan alam untuk pengembangan areal perkebunan kelapa
sawit telah menyebabkan jutaan hektar areal hutan konversi berubah
menjadi lahan terlantar berupa semak belukar dan/atau lahan kritis baru,
sedangkan realisasi pembangunan perkebunan kelapa sawit tidak sesuai
dengan yang direncanakan.
Dampak negatif yang terungkap dari aktivitas perkebunan kelapa sawit diantaranyai:
|
Dampak perkebunan kelapa sawit
Primadona
kelapa sawit menjadi salah satu kemajuan khususnya di bidang
perkebunan, nama kelapa sawit pun mulai populer seiring trend pengadaan
perkebunan kelapa sawit bersekala besar di daerah yang berpotensi objek
lahan. Hal inipun menjadi opini public khlayak ramai, dan tidak
terkecuali oleh masyarakat lokal/setempat, masyarkat adat dll yang
tentunya terkena imbasnya. Para masyarakat lokal ini pun mulai bersuara
setelah tahu bahwa dampak atau imbasnya perkebunan kelapa sawit ini
begitu dahsyat bagi keberlagsungan hidup, dan merekapun tergugah mulai
menentang dan menolak keras adanya perkebunan sawit. Secara lantang pun
pertanyaan ini muncul pada mereka yang baru menetang adanya pengadaan
perkebunan sawit besar-besaran, mungkin juga ini di karenakan bahwa
minimnya pengetahuan masyarakat lokal terhadap dampak perkebunan kelapa
sawit apalagi masyarakat lokal ini yang notabene-nya adalah masyarakat
pedalaman yang 'barangkali' selalu di identikan masyarakat yang tinggal
di hutan yang tidak mengerti apa-apa.
Seiring waktupun polemik inipun menjadi pro dan kontra bagi kaum-kaum yang berkepentingan, sehingga membawa pada posisi masyarakat menjadi terbuai, terlena, terpana, dengan segudang iming-iming dari para kaum yang berkepentingan, kaum kapitalis, dan juga para awak perusahaan yang mulai berani menjajakan kaki dan mulai mendekati masyarakat lokal, dimana para awak perusahaan menjajikan dan mengiming-imingi 'jika mengizinkan adanya perkebunan sawit maka, selayaknyalah masyarakat setempat dapat merasakan keuntungan dan dapat pula mengsejahterakan hidupnya kelak' ya begitulah kira-kira iming- iming yang di janjikan oleh para kaum kapitalis dan awak perusahaan ini.
Menyadari kenyataan ini sungguh-sungguh sangat menyedihkan, ketika sebagian masyarakat setempat yang tersugesti meng-iyakan perkebunan kelapa sawit dengan skala besar, padahal jelas-jelas hal ini merupakan bentuk pembodohan dan penindasan yang luar biasa terhadap kehidupan sumber daya alam kedepannya dan penghancuran ekosistem, bahkan yang lebih menyedihkan menjalar pada keberlangsungan hidup manusia untuk hidup sehat. Dan adapun dampak penindasan dan pembodohan bagi kehidupan sumber daya alam yang terancam seperti: Musnahnya kearifan lokal dan pengetahuan lokal, hutan, lahan, tanah adat yang tak dapat berfungsi penuh. Jelas saja hal ini berakibat buruk bagi keberlagsungan hidup, contoh saja tidak ada lagi lahan, tanah yang biasanya digunakan untuk berladang, berkebun, mencari sayur-mayur, dan buah-buahan di hutan, di tambah lagi hal tersebut dapat juga berdampak membawa masyarakat pada kemiskinan dan kepunahan/mati, serta membawa juga eksploitasi kerusakan kawasan hutan, padahal kita tahu bahwa masyarakat setempat mengantungkan hidupnya terhadap hutan dan seisinya, apalagi masyarakatnya yang mempunyai ikatan emosional terhadap hutan dan hidup yang bersentuhan dengan alam.
Seiring waktupun polemik inipun menjadi pro dan kontra bagi kaum-kaum yang berkepentingan, sehingga membawa pada posisi masyarakat menjadi terbuai, terlena, terpana, dengan segudang iming-iming dari para kaum yang berkepentingan, kaum kapitalis, dan juga para awak perusahaan yang mulai berani menjajakan kaki dan mulai mendekati masyarakat lokal, dimana para awak perusahaan menjajikan dan mengiming-imingi 'jika mengizinkan adanya perkebunan sawit maka, selayaknyalah masyarakat setempat dapat merasakan keuntungan dan dapat pula mengsejahterakan hidupnya kelak' ya begitulah kira-kira iming- iming yang di janjikan oleh para kaum kapitalis dan awak perusahaan ini.
Menyadari kenyataan ini sungguh-sungguh sangat menyedihkan, ketika sebagian masyarakat setempat yang tersugesti meng-iyakan perkebunan kelapa sawit dengan skala besar, padahal jelas-jelas hal ini merupakan bentuk pembodohan dan penindasan yang luar biasa terhadap kehidupan sumber daya alam kedepannya dan penghancuran ekosistem, bahkan yang lebih menyedihkan menjalar pada keberlangsungan hidup manusia untuk hidup sehat. Dan adapun dampak penindasan dan pembodohan bagi kehidupan sumber daya alam yang terancam seperti: Musnahnya kearifan lokal dan pengetahuan lokal, hutan, lahan, tanah adat yang tak dapat berfungsi penuh. Jelas saja hal ini berakibat buruk bagi keberlagsungan hidup, contoh saja tidak ada lagi lahan, tanah yang biasanya digunakan untuk berladang, berkebun, mencari sayur-mayur, dan buah-buahan di hutan, di tambah lagi hal tersebut dapat juga berdampak membawa masyarakat pada kemiskinan dan kepunahan/mati, serta membawa juga eksploitasi kerusakan kawasan hutan, padahal kita tahu bahwa masyarakat setempat mengantungkan hidupnya terhadap hutan dan seisinya, apalagi masyarakatnya yang mempunyai ikatan emosional terhadap hutan dan hidup yang bersentuhan dengan alam.
Langganan:
Postingan (Atom)