Release menanggapi rencana pengesyahan RUU P2H
RUU Pemberantasan Pengerusakan Hutan (P2H)
berpotensi merugikan Rakyat dan Melindungi Perusahaan Perusak Hutan
Jakarta, 26 Maret 2013. Rancangan Undang Undang Pemberantasan
Pengerusakan Hutan (RUU P2H), diusulkan atas pertimbangan tingginya laju
deforestasi dan degradasi oleh kejahatan sistematis terorganisir dalam
sector utama ; pertambangan, perkebunan dan pembalakan liar skala besar,
hanya saja dalam substansi pasal per pasalnya RUU ini justru diarahkan
untuk menyelamatkan perusahaan tambang dan perkebunan dan justru akan
menjadi alat baru mengkriminalisasi serta memisahkan rakyat dari sumber
kehidupannya.
Fakta bahwa kerusakan hutan Indonesia tidak hanya permasalahan
aktivitas tanpa ijin atau ada atau tidak ada basis legas dalam
operasional perusahaan di atas hutan, namun juga disebabkan oleh
aktivitas illegal perusahan-perusahaan berijin, misal land clearing PBS dengan cuma mengantongi Ijin Lokasi, land clearing perusahaan
tambang yang baru mengantongi ijin eksplorasi. Pemerintah sendiri
sebenarnya mengakui bahwa banyak perusahaan yang beroperasi secara
illegal di kawasan hutan, yang kemudian diakomodir oleh pemerintah
melalui PP 60 dan 61 tahun 2012. Sehingga pengesyahan RUU P2H ini
semakin kental upaya untuk menghilangkan upaya penegakan hukum atas
pelanggaran-pelanggaran oleh perusahaan besar.
Lebih jauh lagi, RUU ini syarat dengan kepentingan asing, dimana
ditenggarai RUU P2H (sebelumnya disebut RUU Pencegahan dan Pemberantasan
Pembalakan Liar) terkait perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan
Pemerintah Inggris (MoU combat illegal logging and the illegal timber
trade tahun 2002 yang dilanjutkan dengan project FLECT). Dengan
demikian RUU P2H ditujukan untuk menyenangkan Negara pemberi uang dan
pasar, jauh dari upaya serius penegakan hukum atas
pelanggran-pelanggaran di sector kehutanan.
Terlebih apabila melihat penggunaan kayu alam di sector industry kertas dan bubur kertas yang mencapai 54 %. Sementara itu ditengah upaya Pemerintah dan DPR RI menerbitkan RUU P2H ini, pemerintah telah melepaskan 12,3 juta hektar kawasan hutan ditahun 2012 dengan mengatas namakan pembangunan. Disisi lain data kementerian kehutanan menyebutkan saat ini ada desa berbatasan sebanyak 8.662 desa seluas 28.456.324 hektar dan dalam hutan sebanyak 1500 desa dengan luas 11.135.011 hektar. Yang mana bila mengacu ke pasal 82 dan 83 RUU P2Hakan menjadi sasaran empuk kriminalisasi dan pengusiran.
Apabila dilihat dari hal-hal tersebut, sangat mengherankan apabila RUUP2H yang sepintas ditujukan untuk menegakan hukum namun pada kenyataannya hanya untuk memenuhi kepentingan asing dan melindungi tindak pelanggaran hukum oleh perusahan-perusahaan besar justru diupayakan dengan berbagai cara agar bisa diterbitkan (disyahkan) oleh Pemerintah dan DPR RI.
Berdasarkan hasil analisis yang kami lakukan, kami menilai bahwa RUUP2H ini cacat hukum maupun cacat substansi sebagaimana berikut :
Terlebih apabila melihat penggunaan kayu alam di sector industry kertas dan bubur kertas yang mencapai 54 %. Sementara itu ditengah upaya Pemerintah dan DPR RI menerbitkan RUU P2H ini, pemerintah telah melepaskan 12,3 juta hektar kawasan hutan ditahun 2012 dengan mengatas namakan pembangunan. Disisi lain data kementerian kehutanan menyebutkan saat ini ada desa berbatasan sebanyak 8.662 desa seluas 28.456.324 hektar dan dalam hutan sebanyak 1500 desa dengan luas 11.135.011 hektar. Yang mana bila mengacu ke pasal 82 dan 83 RUU P2Hakan menjadi sasaran empuk kriminalisasi dan pengusiran.
Apabila dilihat dari hal-hal tersebut, sangat mengherankan apabila RUUP2H yang sepintas ditujukan untuk menegakan hukum namun pada kenyataannya hanya untuk memenuhi kepentingan asing dan melindungi tindak pelanggaran hukum oleh perusahan-perusahaan besar justru diupayakan dengan berbagai cara agar bisa diterbitkan (disyahkan) oleh Pemerintah dan DPR RI.
Berdasarkan hasil analisis yang kami lakukan, kami menilai bahwa RUUP2H ini cacat hukum maupun cacat substansi sebagaimana berikut :
- RUU PPH tidak akan mampu menyelesaikan persoalan perusakan hutan
- Mempercepat upaya legalisasi pertambangan dan perkebunan di dalam kawasan hutan
- Menghambat pemberantasan korupsi di sektor kehutanan
- Tidak sinkron antara beberapa pasal
- Mengacaukan sistem hukum pidana
- Bertentangan dengan putusan MK tentang definisi kawasan hutan
- Mengkriminalisasi masyarakat adat dan masyarakat lokal.
- Tidak sistematis, tidak jelas apakah RUU ini undang-undang tindak pidana atau undang-undang administrasi
- Pemegang IUPHHK-Hutan Alam dan Perhutani tidak termasuk dalam undang-undang ini padahal kerusakan hutan yang dilakukannya terencana dan dalam jumlah besar.
- Pembentukan lembaga baru yang tidak perlu
Koalisi masyarakat sipil mendesak pembatalan
pengesahan RUU P2Htersebut, mendesak pemerintah dan DPR RI memperbaiki
UU Kehutanan Nomer 41 tahun 1999 dengan mengakomodir kepentingan
masyarakat yang turun temurun memelihara hutan dan mengelola sumberdaya
alam serta melakukan penindakan hukum atas kejahatan kehutanan yang
dilakukan oleh perusahaan dengan tegas. Pengesahan RUU P2H sama sekali
tidak mencerminkan upaya penegakan hukum namun syarat dengan titipan
kepentingan asing (pasar) dan perusahaan. SELESAI
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Perkumpulan untuk
Pembaruan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa), Epistema
Institute, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Jaringan Kerja Pemetaan
Partisipatif (JKPP), Sylvagama, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
(AMAN), Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Sawit Watch, Indonesia Center
for Environmental Law (ICEL), Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat
(FKKM), PUSAKA, Indonesia Corruption Watch (ICW)
Kontak Person :
Siti Rakhma Mary (HUMA) 08122840995, Yance Arizona (EPISTEMA)
085280860905, Dede Shineba (KPA) 081368633608, Emerson Yuntho (ICW)
081389979760, Deddy Ratih 081250807757 dan Zenzi Suhadi 081384502601
(WALHI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar