Sepuluh hal yang harus dilakukan
agar CPO indonesia bisa dikategorikan sebagai komoditas yang ramah lingkungan
Pernyataan
Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono pada September
2012 lalu yang mengatakan “Kelapa sawit adalah ramah lingkungan” di
acara Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) untuk kawasan asia pasifik perlu
di lihat lebih mendalam. Karena menurut sawit watch dan berbagai aktivis
lingkungan perkebunan kelapa sawit tidak bisa dijadikan komoditas yang
ramah lingkungan.
Keinginan kementrian perdagangan untuk menguslkan kembali crude palm oil (CPO) masuk dalam environmental goods list
pada KTT APEC yang digelar Oktober 2013 di Bali dirasa perlu
dipertimbangkan kembali, karena pada faktanya masih banyak tingkah laku
pengusaha perkebunan sawit yang tidak bisa dikategorikan sebagai ramah
lingkungan. Seperti halnya pembangunan perkebunan sawit di lahan gambut.
Hingga membuka perkebunan sawit di lahan pangan masyarakat. Masalah
lingkungan masi kerap terjadi dalam industri perkebunan kelapa sawit.
Di
kalimantan tengah saja misalnya masih banyak ditemukan titik api yang
berada di dalam konsesi perkebunan kelapa sawit. Ini membuktikan,
walaupun sudah ada aturan Zero Burning bagi perusahaan, namun masih ada
saja pengusaha perkebunan sawit yang “nakal”.
Pada
prinsipnya sawit watch tidak pernah menolak pembangunan perkebunan
kelapa sawit, asalkan sistem yang dijalankan tidak lah memberikan dampak
buruk bagi lingkungan baik fisik maupun sosialnya. Komoditas kelapa
sawit bukanlah masalah utamanya, namun sistem pembangunan perkebunan
kelapa sawit yang besar-besaranlah yang menjadi masalah utama dari semua
permasalahan yang ada.
Sawit
watch mencatat ada 10 hal yang mungkin bisa dilakukan agar perkebunan
kelapa sawit bisa dikategorikan komoditas yang ramah lingkungan:
- Pengusaha dan pengembang perkebunan kelapa sawit tidak melakukan pembakaran pada saat membuka lahan untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit
- Pabrik yang dibangun sesuai dengan tata ruang yang berlaku di lokasi dan tidak mencamari lingkungan disekitarnya
- Pembangunan perkebunan kelapa sawit dibangun diwilayah yang memiliki serapan carbon rendah, seperti savana (padang rumput, alang alang). Tidak di hutan lindung, hutan konservasi, hutan produksi dan gambut
- Pembangunan Perkebunan kelapa sawit tidak mengkonversi lahan pangan yang sudah ada
- Perkebunan kelapa sawit dalam melakukan pembukaan lahan tidak memilik konflik dengan masyarakat. Terutama konflik dengan masyarakat adat
- Pengusaha dan pengembang perkebunan kelapa sawit tidak melakukan pelanggaran HAM dari mulai proses pembukaan lahan hingga proses produksi CPO
- Pengusaha dan pengembang perkebunan kelapa sawit menggunakan transportasi yang ramah lingkungan untuk mengangkut hasil panen dan hasil produksi CPO nya
- Pengusaha dan pengembang perkebunan kelapa sawit mempunyai sistem kemitraan yang transparan dan terukur, sehingga masyarakat yang ikut dalam sistem inti-plasma tidak merasa dirugikan
- Pemerintah tidak membuat aturan atau undang undang yang bertentangan dengan “ramah lingkungan”. Seperti halnya Permentan No 14 tahun 2009, yang membolehkan membuka lahan gambut dengan maksimal kedalaman 3 meter untuk perkebunan kelapa sawit.
- Pengusaha dan pengembang perkebunan kelapa sawit tidak mempraktekan sistem-sistem perbudakan kepada pekerja dan buruhnya.
Menurut sawit watch jika kesepuluh hal diatas dilakukan oleh perusahaan perkebunan sawit dengan di dukung oleh sistem penegakan hukum yang kuat dari pemerintah, dirasa sangat memungkinkan jika komoditas perkebunan kelapa sawit ini menjadi salah satu komoditas yang ramah lingkungan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar